• Twitter
  • Facebook
  • Google+

Perjalanan Hidup Venerable Atisha Dīpaṃkara Śrījñāna - Chapter III

Venerable Atisha - Taken From Himalayanart.com
Sepanjang hidupnya, Atisha telah menimba ilmu dari 157 guru agung, tapi ia memiliki rasa hormat yang istimewa terhadap Lama Dharmakirti dari Pulau Emas dan berikut aturan-aturan yang ia berikan; sampai-sampai air mata menggenangi pelupuk matanya manakala ia menyebut atau mendengar nama gurunya itu.

Saat ditanya oleh para pengikutnya di Tibet tentang apakah penampakan rasa ini berarti Atisha lebih menyukai salah satu guru di antara guru yang lain, Atisha membalas, “Aku tidak membeda-bedakan guru rohaniku. Tapi oleh karena kebaikan guruku yang mahamulia dari Pulau Emas ini, aku telah beroleh kedamaian cita dan hati penuh pengabdian pada tujuan Bodhicita.”

Setelah Atisha kembali ke India, ia melindungi dan menjunjung Dharma Suci. Atisha juga banyak membangun lembaga pembelajaran Buddha ke mana pun ia berpergian, dan selalu berusaha untuk memperbaiki praktik yang keliru. Karena welas asih dan wawasannya, Atisha pun dikenal di seluruh India dan dipuja sebagai permata mahkota guru-guru terpelajar. Akan tetapi, anugerah paling luar biasa darinya ia berikan pada masyarakat di Tibet, Tanah Salju sebelah Utara.

Ajaran Buddha Dharma pernah dibawa ke Tibet beberapa abad sebelumnya oleh Guru Rinpoche Padmasambhava dan beberapa lainnya, namun mengalami kelayuan yang hebat karena tekanan dari Raja Langdarma (863-906 M), yang mengakibatkan semakin sedikitnya pelaku ajaran yang tersisa dan akhirnya banyak pokok ajaran yang tidak lagi dipahami dengan tepat.

Banyak orang merasa bahwa praktik disiplin-diri etis dan Tantra itu saling terpisah dan juga percaya bahwa ajaran Hinayana dan Mahayana pun saling bertolak-belakang, yang satu berujung pada pembebasan dan yang lain bermuara pada pencerahan. Juga banyak masyarakat Tibet yang beranggapan bahwa pencerahan dapat dicapai lewat kemabukan dan beragam pelecehan seksual.

Raja Tibet Yeshey-wo sedih karena keadaan yang merosot ini dan berkeinginan besar mengundang guru terpelajar dari salah satu pusat Vihara agung di India untuk datang ke Tibet dan menjernihkan kekeruhan ini.

Pertama, ia mengirim 21 pemuda ke India untuk mempelajari bahasa Sanskerta dan mencari guru yang cocok, namun gagal dan tak mampu mengundang siapa pun. Tetapi rombongan pertama ini mendapat petunjuk bahwa guru terbaik yang patut diundang ke Tibet adalah Atisha.

Lalu Raja Yeshey-wo mengirim rombongan kedua yang berjumlah sembilan orang, dikepalai oleh Gyatsonseng, dengan banyak emas untuk mengundang Atisha. Namun di perjalanan, delapan dari mereka juga mati dan karena tak mampu membawa Atisha, Gyatsonseng pun tinggal di India.

Saat kabar tentang kegagalan kedua ini sampai ke telinga Yeshey-wo, ia memutuskan untuk memimpin sendiri perjalanan ke India. Namun, ia ditangkap di perbatasan Nepal oleh Raja Garlog (Qarluq) saingannya, yang berusaha mencegah penyebaran ajaran Buddha di Tibet.

Keponakan Raja Yeshey-wo, Jangchub-wo, pun tidak sanggup menebus nyawa pamannya dengan sejumlah emas yang diminta oleh Raja Garlog. Sebelum meninggal, Raja Yeshey-wo berpesan agar menyampaikan kepada Atisha bahwa dirinya telah mengorbankan nyawa supaya Atisha bisa dibawa ke Tibet untuk kesejahteraan rakyatnya dan Dharma.

Jangchub-wo lalu menjadi Raja Tibet. Ia memutuskan bahwa orang terbaik yang bisa ia kirim pada perjalanan ketiga ini adalah Nagtso si penerjemah, yang pernah ke India beberapa kali. Penerjemah itu berangkat dengan 700 keping emas dan enam rekan.

Raja Jangchub-wo pun mengantar mereka selama beberapa hari.

Akhirnya, rombongan itu sampai di Vihara Perguruan Tinggi Vikramashila yang sunyi setelah perjalanan yang sangat menyusahkan.

Setelah melewati intrik pikiran dan hati di Vihara selama beberapa bulan, akhirnya Nagtso dapat bertemu langsung dengan Atisha dan mempersembahkan emas yang bertumpuk diatas mandala bundar serta bercerita tentang riwayat kedatangan mereka, walau dengan sedikit keraguan karena penampilan Atisha yang saat itu tidak mengesankan.

Atisha berkata bahwa mereka sangat baik hati dan bahwa ia tak ragu sama sekali bahwa kedua raja Tibet tersebut sesungguhnya adalah Bodhisattva dan tulus menghormati Raja untuk pengorbanannya.

Atisha semakin renta dan punya banyak tanggung jawab sebagai penjaga gudang Vihara. Ia berharap bisa datang. Lalu, ia mengembalikan emas mereka untuk keperluan perjalanan pulang. “Sementara itu,” katanya pada mereka, “aku harus meminta saran dari Yidam pribadiku.”

Malam itu, Tara menampakkan diri pada Atisha dalam sebuah penglihatan murni dan berkata padanya bahwa perjalanannya ke Tibet akan membawa limpahan manfaat bagi orang-orang di sana. Namun Tara juga berkata bahwa umurnya akan berkurang 20 tahun jika berangkat ke Tibet dan meninggal di usia 72 tahun.

Atisha kini merasa yakin untuk pergi bersama para utusan dari Tibet itu dan bahwa kehilangan 20 tahun usianya adalah sebuah pengorbanan yang pantas.

Dan Kepala Vihara pun mengizinkan Atisha pergi bersama rombongan ke Tibet walau berat melepas kepergian Atisha dan meminta Nagtso berjanji untuk membawa kembali Atisha setelah tiga tahun di Tibet.

To Be Continued

0 komentar:

Post a Comment

Contact

Get in touch with us


HOMEBASE OFFICE Address

Jalan Yuka, Lorong Siswa Bakti Abri, No.22, Kec. Paalmerah Lama, Kota Jambi, Jambi, Indonesia, 36139

Muara Jambi Site research camp Address

Sanggar Sekolah Alam Raya, Dusun Sungai Melayu, RT.05, Desa Muara Jambi, Kab. Muaro Jambi, Jambi, Indonesia, 36382

Personal contact Phone number

+(62) 85266008969 (Roy Mardianto)

+(62) 85266091459 (Mukhtar Hadi / Borju)

+(62) 81366197841 (Iman Kurnia)

+(62) 82180783782 (M. Kurniawan)

Email

padmasanafoundation@yahoo.com