Atisha Dīpaṃkara Śrījñāna illustration |
Tuan rumah dan para Biksu menggelar arak-arakan besar dan mengundang Atisha untuk tinggal di biara sunyi terdekat.
Setelah Atisha berada di Ngari selama 3 tahun, memberikan wacana-wacana yang kemudian dikumpulkan ke dalam Pelita Bagi Jalan Menuju Pencerahan (Skt. Bodhipathapradipa), sebuah purwarupa bagi seluruh naskah selanjutnya mengenai pokok ajaran ini, ia berangkat bersama penerjemah Nagtso untuk kembali ke India.
Namun, perang yang berkecamuk di perbatasan Nepal menghalangi perjalanan mereka. Nagtso menjadi teramat sangat cemas karena mustahil baginya untuk menepati janji pada Kepala Vihara Vikramashila. Atisha segera menenangkan ketakutannya dan Nagtso menulis sepucuk surat untuk Kepala Vihara, menjelaskan bagaimana niat baik mereka terpaksa pupus.
Sebagai ganti ketidakkhadirannya, Atisha mengirimkan sebuah salinan Pelita Bagi Jalan Menuju Pencerahan. Ia juga meminta izin untuk tetap tinggal di Tibet sampai akhir hayatnya. Mereka kemudian kembali ke Ngari.
Kepala Vihara pun maklum setelah membaca naskah Pelita Bagi Jalan Menuju Pencerahan dan menulis surat untuk Nagtso, si penerjemah, “Saya sudah tidak berkeberatan jika Atisha menetap di Tibet. Yang ia tulis telah membawa manfaat bagi kita semua. Saya hanya meminta supaya ia sekarang menulis dan mengirimkan pada kami tafsirnya sendiri tentang naskah itu.” Inilah sebab ditulisnya tafsir Atisha sendiri tentang pokok-pokok sukar dalam naskah penting ini.
Segera, Atisha pergi lebih jauh ke utara, ke Tibet Pusat dan mengunjungi Lhasa. Dalam perjalanan, mereka berhenti di Samyay, Vihara pertama yang dibangun di Tibet. Atisha sangat terkesan dengan kumpulan buku berbahasa Sanskerta dan Tibet yang dimiliki perpustakaan Vihara itu dan berkata ia tidak berpikir bahwa begitu banyak naskah ajaran Buddha dalam bahasa Sanskerta yang ada bahkan di India sekalipun pada masa itu.
Secara keseluruhan, Atisha menghabiskan 17 tahun di Tanah Salju; 3 tahun di Ngari, 9 tahun di Nyetang dekat Lhasa, dan 5 tahun di berbagai tempat lainnya sampai kematiannya pada tahun 1054 M di usia 72 tahun, persis seperti yang dinubuatkan oleh Tara.
Jenazah Atisha dibalsem dan diabadikan di Nyetang dan, dua tahun setelah itu (1056 M), Dromtonpa, orang awam yang dihormati, membangun Vihara Radreng, pusat terpenting dari aliran Kadam yang meneruskan silsilah gurunya.
Dengan mengajarkan jalan terpadu tentang Sutra dan Tantra, guru agung dari India itu telah menyelesaikan tugas besar membentuk ulang dan menghidupkan kembali penyebaran Dharma lengkap Budha di Tibet.
The End
0 komentar:
Post a Comment