Figur Dharmakirti dalam Dharmakirti's Durbodhaloka and Literature Of Srivijaya - P. Skilling |
Tidak banyak literatur tentang siapa sebenarnya Lama Serlingpa Dharmakirti ( 金州大師 ). Beberapa literasi menyebutkan, bahwa beliau lahir dengan nama Shri Suvarnadvipa, sekitar 950 Masehi, di keluarga Dinasti Syailendra, di sebuah pulau dengan julukan Suwarnadwipa, yang berarti ‘pulau emas’. Dinasti Syailendra mempraktekkan berlindung pada Triratna. Merekalah yang membangun Candi Borobudur, mandala batu terbesar yang pernah dibangun di muka bumi ini, untuk menghormati Triratna. Lama Serlingpa belajar di Biara Vikramasila India dan beliau mewarisi dua garis ajaran yang sangat penting untuk pengembangan Bodhicitta. (http://buddhazine.com/menelusuri-tahapan-jalan-menuju-pencerahan-di-indonesia-india-dan-tibet/)
Serlingpa Dharmakirti atau yang dikenal juga dengan sebutan Suvarnadvipi Dharmakirti adalah seorang pangeran dari silsilah Shri-Vijayendra-Raja yang masih termasuk dalam silsilah Dinasti Syailendra. Dia juga dikenal sebagai guru besar Buddhis di Sumatera pada abad ke-10. (https://id.wikipedia.org/wiki/Dharmakirti)
Salah satu mahakarya dari Lama Serlingpa yang terselamatkan adalah Durbodhaloka, terbagi dalam 8 bab, sebagaimana disebutkan dalam Dharmakirti's Durbodhaloka and The Literature Of Srivijaya, oleh Peter Skilling, dalam Journal of The Siam Society Vol. 85, Parts 1 - 2, Hal. 187-188, sebagai berikut :
“Through his translations into Tibetan, Dipamkara-also known as Atisa-is responsible for the preservation of the only certain example of the literature of Srivijaya that has survived.”
“One of the important documents bequeathed to us by Atisa is his translation of the Durbodhaloka by Dharmakirti.”
(Melalui terjemahannya ke dalam (bahasa) Tibet, Dipamkara - juga dikenal sebagai Atisa - (telah) bertanggung jawab untuk melestarikan satu-satunya contoh pasti dari literatur Sriwijaya yang bertahan.)
(Salah satu dokumen penting (telah) diwariskan kepada kita oleh Atisa adalah terjemahan dari Durbodhaloka oleh Dharmakirti.)
“The Durbodhaloka or Illumination of [Points] Difficult to Understand is a commentary on an Indian text, the Abhisamayalamkara. The Abhisamayalamkara, or Ornament of Realization, is a terse and systematic verse explication of the Prajna Paramita or Perfection of Wisdom. Composed in the 4th century CE, it was one of the most influential texts of scholastic Mahayana Buddhism, and the subject of numerous commentaries. It remains on the curriculum of Tibetan monasteries to this day.”
(Durbodhaloka atau Penerangan [pokok] Yang Sulit Dipahami adalah sebuah komentar untuk sebuah teks India, yang berjudul Abhisamayalamkara. Abhisamayalamkara, atau Ornamen Realisasi, adalah penjelasan ayat singkat dan sistematis dari Prajnaparamita atau Kesempurnaan Kebijaksanaan. Disusun pada abad ke-4, yang merupakan salah satu teks paling berpengaruh mengenai Mahayana dalam Buddhisme, dan subjek banyak komentar. (teks) ini masih masuk dalam kurikulum biara Tibet hingga hari ini.)
(Durbodhaloka atau Penerangan [pokok] Yang Sulit Dipahami adalah sebuah komentar untuk sebuah teks India, yang berjudul Abhisamayalamkara. Abhisamayalamkara, atau Ornamen Realisasi, adalah penjelasan ayat singkat dan sistematis dari Prajnaparamita atau Kesempurnaan Kebijaksanaan. Disusun pada abad ke-4, yang merupakan salah satu teks paling berpengaruh mengenai Mahayana dalam Buddhisme, dan subjek banyak komentar. (teks) ini masih masuk dalam kurikulum biara Tibet hingga hari ini.)
“Sections 1.3 (in verse) and 1.4 (in prose) establish that the Durbodhaloka was composed at the request of or during the reign of King Cudamanivarman dari Srivijaya. Section 1.4 establishes that the work was composed in the city of Srivijaya itself. The importance of this information cannot be gainsaid: the composition of the Durbodhaloka presupposes the existence and study in Srivijaya of the abstruse Prajnaparamita and Abhisamayalamkara literature, of a high level of scholarship and of royal sponsorship.”
(Bagian 1.3 (dalam ayat) dan bagian 1,4 (dalam prosa) membuktikan bahwa Durbodhaloka disusun atas permintaan dari atau pada masa pemerintahan Raja Cudamanivarman dari Sriwijaya. Bagian 1.4 menetapkan bahwa pengerjaan (durbodhaloka) disusun di kota Sriwijaya sendiri. Pentingnya informasi ini tidak dapat disangkal: komposisi Durbodhaloka mengisyaratkan keberadaan dan belajar/melakukan kajian di Sriwijaya tentang Prajnaparamita yang mendalam dan literatur Abhisamayalamkara, merupakan sebuah beasiswa (pengetahuan secara ilmiah) tingkat tinggi dan merupakan (mendapat) sponsor (dukungan/sokongan) dari kerajaan.)
Dikatakan juga dalam Riwayat Guru-Guru Lamrim, bahwa Dharmakirti pergi ke Jambudvipa (India) belajar di bawah Shri Ratna dan menjadi biksu di bawah guru ini. Dikatakan, Dharmakirti lahir dari keluarga kerajaan, dia adalah anak raja dari Sriwijaya. Tidak ada yang tahu sampai kapan Guru Besar Dharmakirti hidup. Catatan dari Tibet menerangkan beliau hidup hingga usia 150 tahun dan bertempat tinggal di Suwarnadwipa, ketika Atisha mencapai kedudukan tertinggi sebagai pendeta besar di India. Beberapa karya dari Dharmakirti antara lain yang masih bisa dilacak dari Tan-gyur: Siksa-samuccaya-abhisamaya-namah.
Pada catatan akhir dari karya ini dituliskan pengarangnya adalah Ser-ling-gyalpo-pal-dan cho-kyon, yang artinya Shri Dharmapala dari Suwarnadwipa. Ada banyak diskusi tentang Dharmakirti dan Dharmapala. Sebagian sarjana mengatakan kedua orang tersebut adalah sama, sebagian menerangkan tidak. Sayangnya kita tidak menemukan banyak catatan maupun informasi tentang hal ini. Khusus tentang hal ini, pada catatan akhir dari Satya-dvaya-avatara oleh Dipamkara menyebutkan nama seorang guru Mahayana Dharmapala, raja dari Suwarnadwipa. (http://www.kadamchoeling.or.id/melihat-swarnadwipa-dharmakirti-dan-atisa-dipankara-sri-jnana-di-sriwijaya/)
Masih memerlukan banyak bukti untuk menguak misteri siapa sebenarnya Lama Serlingpa atau yang lebih kita kenal dengan Dharmakirti, seorang mahaguru dari Suvarnadvipa. Sebuah arca Prajnaparamita yang bagian kepalanya telah hilang, terbuat dari batu andesit, ditemukan di puing reruntuhan Candi Gumpung, pada saat pemugaran yang dilaksanakan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala pada tahun 1978, merupakan salah satu saksi bisu dari timeline peradaban Muarajambi yang cukup lama bertahan dan kini menjadi situs arkeologi terluas di Indonesia.
Prajnaparamita - Gumpung |
Muarajambi mungkin pernah menjadi "fakultas - fakultas" yang
disaling-hubungkan dengan suatu jaringan kanal yang besar. Ketika
menyusuri jalan semak-belukar dimana puing keramik Cina dari abad ke-7
dan ke-9 bertebaran, orang mulai membayangkan universitas "alam" pertama
di persimpangan antara India dan Cina, yang mencakup hutan sebagai
kebun, perpustakaan, apotek hidup, dan suaka semedi di dalam kampusnya
(Pondok Menapo, Inandiak, 2014).
Anda ingin mengetahui dan membuktikan seberapa besar universitas tertua di Indonesia, yang diperkirakan sebagai tempat belajarnya Atisa kepada Dharmakirti ?
Anda ingin mengetahui dan membuktikan seberapa besar universitas tertua di Indonesia, yang diperkirakan sebagai tempat belajarnya Atisa kepada Dharmakirti ?
Silahkan berkunjung ke Muara Jambi dan buktikan sisa peradabannya disini !
0 komentar:
Post a Comment